Ikrar Nusa Bhakti
Peneliti Senior LIPI
DALAM pemilu, adagium populer adalah: "Suara Rakyat, Suara Tuhan" (Vox Populi, Vox Dei). Ini menunjukkan rakyatlah pemilik kedaulatan tertinggi yang menentukan parlemen dan pemimpin mereka.
Agar
legitimasi para anggota Dewan di mata rakyat lebih kuat, dikatakan bahwa
suara rakyat identik dengan keinginan atau suara Tuhan.
Dalam
menentukan suara rakyat milik siapa, politisi sering mengutak-atik
aturan pemilu. Di Amerika Serikat (AS) dan Singapura misalnya, dulu
daerah pemilihan (DP) suka diubah-ubah agar partai yang berkuasa dapat
memenangi pemilu. Bagaimana dengan di Indonesia? Politisi kita memang
"aneh bin ajaib." Hanya di Indonesia Undang-Undang Pemilu-nya
diamendemen setiap tahun! Di negara lain, kalaupun terjadi penambahan,
pengurangan, atau perubahan pasal, pembahasannya juga tidak
bertele-tele.
Lebih
aneh lagi, meskipun sudah terjadi pembahasan yang alot dan tertunda 24
jam, keputusannya di sidang paripurna DPR, ternyata Rancangan
Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10/2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPR, dan DPRD tidak mengalami perubahan yang
signifikan dengan UU No. 10/2008 sebelumnya, kecuali untuk ambang batas
parlemen yang naik dari 2,5% menjadi 3,5% dan berlaku secara nasional.
Pemilik Uang
Setelah
alot di Pansus dan sidang paripurna, akhirnya DPR sepakat mengenai
beberapa hal, antara lain ambang batas parlemen yang menentukan apakah
partai-partai politik dapat memperoleh kursi di DPR adalah 3,5% dan
berlaku secara nasional. Alokasi kursi di setiap daerah pemilihan masih
sama dengan aturan dalam UU No. 10/2008 yang diterapkan pada pemilu
legislatif 2009, yakni alokasi kursi untuk DPR sebanyak 3—10 kursi/dapil
dan DPRD 3—12 kursi/dapil. Untuk jumlah kursi ini semua partai politik
sepakat secara aklamasi.
Metode
konversi dari suara ke kursi ditentukan dengan cara kuota murni, sama
dengan undang-undang sebelumnya. PKS yang tadinya bersama PDIP dan
Golkar bersikukuh mengusulkan penggunaan metode divisor webster
yang bagi partai besar lebih adil konversi suara ke kursinya, akhirnya
memilih metode kuota. Ini karena di wilayah Indonesia Timur, seperti di
Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan NTT, struktur PKS masih
lemah.
Mengenai
penentuan siapa yang terpilih dalam pemilu dari setiap partai politik,
melalui voting akhirnya disepakati sistem proporsional dengan daftar
terbuka tetap digunakan seperti pada Pemilu 2009. PDIP, PKS, dan PKB
yang mengusung sistem daftar tertutup kalah dalam voting.
Jika
kami urai sidang-sidang Pansus pemilu legislatif dan sidang paripurna
untuk memutuskannya, tampak jelas betapa mubazirnya uang rakyat
dihambur-hamburkan hanya untuk menentukan perubahan UU Pemilu yang
sangat tidak signifikan itu.
Apakah
tidak ada cara lain untuk melakukan perubahan undang-undang yang lebih
murah dan tidak bertele-tele. Jangan karena "demokrasi itu mahal" dan
"demokrasi mementingkan proses dan bukan hanya hasil", maka para anggota
DPR dapat menghambur-hamburkan uang rakyat hanya untuk mempertahankan
kepentingan atau nafsu berkuasa mereka.
'The Voiceless'
Kita
patut bertanya, mengapa sidang pansus pemilu legislatif atau paripurna
tidak membahas kuota kursi (bukan kuota calon) perempuan? Mengapa pasal
yang mengatur jumlah uang sumbangan pribadi atau perusahaan bukannya
dikurangi malah ditambah?
Secara
akal sehat, mana mungkin seorang individu mengeluarkan uang dari
koceknya sebesar Rp250 juta untuk membantu calon anggota legislatif jika
dia tidak memiliki kepentingan politik? Hal yang sama juga berlaku bagi
perusahaan yang dapat menyumbang sampai angka miliaran? Apakah kita
benar-benar melaksanakan demokrasi sesuai empat pilar bangsa yang kita
pertahankan?
Lalu, mengapa suara dari orang-orang yang tidak dapat bersuara (The voice of the voiceless)
di daerah juga dikubur melalui sistem ambang batas parlemen 3,5%. Jika
Rancangan UU Pemilu legislatif ini diberlakukan tanpa adanya review dari Mahkamah Konstitusi, kita tak tahu lagi, ke arah mana sesungguhnya demokrasi kita melangkah.
Jika di
AS yang adalah negara kampiun demokrasi musyawarah mufakat masih sering
digunakan baik di kongres atau dalam hubungan antara presiden dan
kongres, mengapa di Indonesia itu menjadi sesuatu yang amat mahal dan
sulit? Hanya politisi yang dapat menjawabnya. Suara rakyat bukan saja
tidak ada harganya, melainkan juga nyaris tidak didengar!
Sumber : Opini Lampost
Sumber : Opini Lampost
Tidak ada komentar:
Posting Komentar