Sabtu, 20 Oktober 2012

Suara Rakyat Suara Tuhan ?

Ikrar Nusa Bhakti
Peneliti Senior LIPI

DALAM pemilu, adagium populer adalah: "Suara Rakyat, Suara Tuhan" (Vox Populi, Vox Dei). Ini menunjukkan rakyatlah pemilik kedaulatan tertinggi yang menentukan parlemen dan pemimpin mereka.
Agar legitimasi para anggota Dewan di mata rakyat lebih kuat, dikatakan bahwa suara rakyat identik dengan keinginan atau suara Tuhan.

Dalam menentukan suara rakyat milik siapa, politisi sering mengutak-atik aturan pemilu. Di Amerika Serikat (AS) dan Singapura misalnya, dulu daerah pemilihan (DP) suka diubah-ubah agar partai yang berkuasa dapat memenangi pemilu. Bagaimana dengan di Indonesia? Politisi kita memang "aneh bin ajaib." Hanya di Indonesia Undang-Undang Pemilu-nya diamendemen setiap tahun! Di negara lain, kalaupun terjadi penambahan, pengurangan, atau perubahan pasal, pembahasannya juga tidak bertele-tele.
Lebih aneh lagi, meskipun sudah terjadi pembahasan yang alot dan tertunda 24 jam, keputusannya di sidang paripurna DPR, ternyata Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPR, dan DPRD tidak mengalami perubahan yang signifikan dengan UU No. 10/2008 sebelumnya, kecuali untuk ambang batas parlemen yang naik dari 2,5% menjadi 3,5% dan berlaku secara nasional.


Pemilik Uang
Setelah alot di Pansus dan sidang paripurna, akhirnya DPR sepakat mengenai beberapa hal, antara lain ambang batas parlemen yang menentukan apakah partai-partai politik dapat memperoleh kursi di DPR adalah 3,5% dan berlaku secara nasional. Alokasi kursi di setiap daerah pemilihan masih sama dengan aturan dalam UU No. 10/2008 yang diterapkan pada pemilu legislatif 2009, yakni alokasi kursi untuk DPR sebanyak 3—10 kursi/dapil dan DPRD 3—12 kursi/dapil. Untuk jumlah kursi ini semua partai politik sepakat secara aklamasi.
Metode konversi dari suara ke kursi ditentukan dengan cara kuota murni, sama dengan undang-undang sebelumnya. PKS yang tadinya bersama PDIP dan Golkar bersikukuh mengusulkan penggunaan metode divisor webster yang bagi partai besar lebih adil konversi suara ke kursinya, akhirnya memilih metode kuota. Ini karena di wilayah Indonesia Timur, seperti di Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan NTT, struktur PKS masih lemah.
Mengenai penentuan siapa yang terpilih dalam pemilu dari setiap partai politik, melalui voting akhirnya disepakati sistem proporsional dengan daftar terbuka tetap digunakan seperti pada Pemilu 2009. PDIP, PKS, dan PKB yang mengusung sistem daftar tertutup kalah dalam voting.

Jika kami urai sidang-sidang Pansus pemilu legislatif dan sidang paripurna untuk memutuskannya, tampak jelas betapa mubazirnya uang rakyat dihambur-hamburkan hanya untuk menentukan perubahan UU Pemilu yang sangat tidak signifikan itu.
Apakah tidak ada cara lain untuk melakukan perubahan undang-undang yang lebih murah dan tidak bertele-tele. Jangan karena "demokrasi itu mahal" dan "demokrasi mementingkan proses dan bukan hanya hasil", maka para anggota DPR dapat menghambur-hamburkan uang rakyat hanya untuk mempertahankan kepentingan atau nafsu berkuasa mereka.

'The Voiceless'
Kita patut bertanya, mengapa sidang pansus pemilu legislatif atau paripurna tidak membahas kuota kursi (bukan kuota calon) perempuan? Mengapa pasal yang mengatur jumlah uang sumbangan pribadi atau perusahaan bukannya dikurangi malah ditambah?
Secara akal sehat, mana mungkin seorang individu mengeluarkan uang dari koceknya sebesar Rp250 juta untuk membantu calon anggota legislatif jika dia tidak memiliki kepentingan politik? Hal yang sama juga berlaku bagi perusahaan yang dapat menyumbang sampai angka miliaran? Apakah kita benar-benar melaksanakan demokrasi sesuai empat pilar bangsa yang kita pertahankan?

Lalu, mengapa suara dari orang-orang yang tidak dapat bersuara (The voice of the voiceless) di daerah juga dikubur melalui sistem ambang batas parlemen 3,5%. Jika Rancangan UU Pemilu legislatif ini diberlakukan tanpa adanya review dari Mahkamah Konstitusi, kita tak tahu lagi, ke arah mana sesungguhnya demokrasi kita melangkah.
Jika di AS yang adalah negara kampiun demokrasi musyawarah mufakat masih sering digunakan baik di kongres atau dalam hubungan antara presiden dan kongres, mengapa di Indonesia itu menjadi sesuatu yang amat mahal dan sulit? Hanya politisi yang dapat menjawabnya. Suara rakyat bukan saja tidak ada harganya, melainkan juga nyaris tidak didengar!

Sumber :  Opini Lampost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar