Minggu, 21 Oktober 2012

Kebudayaan di Era Serbapolitis dan Serbauang*


Oleh Udo Z. Karzi


APAKAH Kebudayaan (dengan K besar)? Lalu, kapankah kebudayaan mendapat tempat selayaknya di negeri ini? Dua pertanyaan tak hendak dijawab dan dibahas di sini, tetapi boleh dibilang dua pertanyaan inilah yang membuat Kebudayaan semakin kehilangan pamor kalau bukan memang tidak pernah populer di negeri ini.

***

Sempat memang terjadi Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an yang melibatkan, antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara (baca: Achdiat K. Mihardja, Ed. Polemik Kebudayaan, 1948).

Ada juga perbalahan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menganut “seni untuk rakyat” dan penanda tangan  Manifes Kebudayaan yang menganut "humanisme universal" pada tahun 1950-an.

Polemik pun berlanjut di generasi berikutnya. Ada juga perdebatan tentang sastra kontekstual. Setelah polemik antara Taufik Ismail dan Pramoedya Ananta Toer (kelompok), ada "perseteruan" hebat antara Saut Situmorang dan Taufiq Ismail. Taufiq Ismail menyebut gerakan Saut sebagai gerakan sahwat merdeka atau sastra mazhab selangkangan. Perkembangan berikutnya, banyak komunitas sastra berdiri yang mengklaim diri sebagai pinggiran, sastra pedalaman, sastra pesantren, sastra sufi, sastra profetik, dan sebagainya.

***

Dari segi itu, sudah. Kenyataannya Kebudayaan tetap menjadi sosok asing di negeri ini. Kebanyakan kita tak juga paham apa itu Kebudayaan. Wajar saja kita tersesat-sesat...

Reformasi datang membawa kebebasan dalam segala bidang, terutama dalam hal mengemukakan pendapat dan berserikat/berkumpul. Maka, lahirlah era multipartai yang disertai bergemuruhnya suara-suara (baca: perdebatan) di antara para politikus. Sayangnya, perdebatan yang muncul bukanlah perdebatan yang sehat -- apatah lagi membicarakan strategi kebudayaan -- melainkan perselisihan paham karena "kepentingan" mereka terganggu.

Harus diakui rangkaian pemikiran ideal telah terumus sejak Musyawarah Kebudayaan di Sukabumi (1945) hingga Kongres Kebudayaan 2008 di Bogor. Namun, cita-cita untuk menempatkan kebudayaan sebagai pondasi bagi pembangunan negara-bangsa Indonesia masih sangat jauh.

Mengutip seorang pejabat kebudayaan di era Departemen Pariwisata dan Kebudayaan -- bagusnya dia mengkritik kelakuan sendiri -- disebutkan "Rumusan dan rekomendasi yang dihasilkan Kongres Kebudayaan belum dapat berfungsi efektif. Belum ada kebijakan-kebijakan nyata yang dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari rekomendasi hasil Kongres Kebudayaan, dan terkesan hanya berhenti sampai dengan keputusan saja."

***

Begitulah, boleh dibilang negara ini -- termasuk petinggi, birokrat, politisi, bahkan jangan-jangan seniman dan budayawan sekalipun -- seakan tidak butuh Kebudayaan. Orang berlomba-lomba masuk dan mendirikan partai politik (tanpa menapikan ada sebagian kecil yang ogah berpolitik), tetapi orang-orang ini minus ideologi kalaulah diasumsikan ideologi itu sebagai anak kandung dari Kebudayaan. Akibatnya, yang timbul adalah sikap-sikap kelewat pragmatis, mementingkan diri sendiri dan kelompok, dan jauh dari humanisme atau rasa kemanusiaan.

Sebagian budayawan memang masih bersemangat berbicara dan memperjuangkan Kebudayaan, tetapi yang terlihat pada masyarakat kebanyakan adalah sikap masa bodoh dengan kebudayaan. Kebudayaan semakin kesepian di tengah orang-orang yang mabuk kuasa -- tak cuma yang menang tetapi juga yang kalah dalam pemilu, pemilukada, pemilihan ketua partai, pemilihan-pemilihan ketua lainnya.

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta dan pemilihan bupati tiga kabupaten di Lampung baru-baru ini nyaris untuk mengatakan tidak sama kali membawa isu Kebudayaan. Semua kontestan nyaris sama mengampanyekan satu hal: tentang ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Seolah-olah, rakyat (pemilih) telah menjelma menjadi “makhluk-makhluk kelaparan”. Jadi, harap maklum jika pemimpin terpilih memang susah diharapkan memiliki visi Kebudayaan. Yah, semoga saja pandangan ini salah.

***

Pada sisi lain, hedonisme, menggampangkan segala hal, dan berbagai aktivitas penuh glamour yang mendewakan uang hadir bersamaan dengan gejala globalisasi dan era keterbukaan informasi. Wacana Kebudayaan jelas bukan hal yang menarik bagi banyak kalangan -- kecuali orang-orang tertentu seperti katakanlah seniman dan budayawan, itu pun sebelum sang seniman/budayawan kecapean sendiri.

Yah, diskusi kebudayaan semakin jarang diselenggarakan. Kalau pun ada, jalannya diskusi semakin kehilangan gereget. Pesertanya itu itu saja dan semakin hari semakin sunyi. Yang paling menyebalkan adalah diskusi budaya pun sudah disertai dengan "embel-embel" tertentu di sebalik acara, siapa pembicara, dan siapa penyelenggara.

Bagaimana dengan diskusi Kebudayaan di media massa? Sama saja! Lesu. Semua seiring dengan pemikir/penulis/jurnalis Kebudayaan yang semakin langka.

***

Solusinya? Entahlah. Tapi, saya pikir kita tidak boleh putus semangat untuk terus-menerus berjuang mengampanyekan Kebudayaan kepada siapa pun dan dengan media apa pun. Soalnya, bagaimana kita bisa hidup tanpa Kebudayaan!

* Paper disajikan untuk Temu Redaktur Kebudayaan se-Indonesia di Jakarta, 9-11 Oktober 2012.

Sumber :  Ulun Lampung Blog, diakses tanggal  22 Oktober 2012

Sabtu, 20 Oktober 2012

Suara Rakyat Suara Tuhan ?

Ikrar Nusa Bhakti
Peneliti Senior LIPI

DALAM pemilu, adagium populer adalah: "Suara Rakyat, Suara Tuhan" (Vox Populi, Vox Dei). Ini menunjukkan rakyatlah pemilik kedaulatan tertinggi yang menentukan parlemen dan pemimpin mereka.
Agar legitimasi para anggota Dewan di mata rakyat lebih kuat, dikatakan bahwa suara rakyat identik dengan keinginan atau suara Tuhan.

Dalam menentukan suara rakyat milik siapa, politisi sering mengutak-atik aturan pemilu. Di Amerika Serikat (AS) dan Singapura misalnya, dulu daerah pemilihan (DP) suka diubah-ubah agar partai yang berkuasa dapat memenangi pemilu. Bagaimana dengan di Indonesia? Politisi kita memang "aneh bin ajaib." Hanya di Indonesia Undang-Undang Pemilu-nya diamendemen setiap tahun! Di negara lain, kalaupun terjadi penambahan, pengurangan, atau perubahan pasal, pembahasannya juga tidak bertele-tele.
Lebih aneh lagi, meskipun sudah terjadi pembahasan yang alot dan tertunda 24 jam, keputusannya di sidang paripurna DPR, ternyata Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPR, dan DPRD tidak mengalami perubahan yang signifikan dengan UU No. 10/2008 sebelumnya, kecuali untuk ambang batas parlemen yang naik dari 2,5% menjadi 3,5% dan berlaku secara nasional.


Pemilik Uang
Setelah alot di Pansus dan sidang paripurna, akhirnya DPR sepakat mengenai beberapa hal, antara lain ambang batas parlemen yang menentukan apakah partai-partai politik dapat memperoleh kursi di DPR adalah 3,5% dan berlaku secara nasional. Alokasi kursi di setiap daerah pemilihan masih sama dengan aturan dalam UU No. 10/2008 yang diterapkan pada pemilu legislatif 2009, yakni alokasi kursi untuk DPR sebanyak 3—10 kursi/dapil dan DPRD 3—12 kursi/dapil. Untuk jumlah kursi ini semua partai politik sepakat secara aklamasi.
Metode konversi dari suara ke kursi ditentukan dengan cara kuota murni, sama dengan undang-undang sebelumnya. PKS yang tadinya bersama PDIP dan Golkar bersikukuh mengusulkan penggunaan metode divisor webster yang bagi partai besar lebih adil konversi suara ke kursinya, akhirnya memilih metode kuota. Ini karena di wilayah Indonesia Timur, seperti di Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan NTT, struktur PKS masih lemah.
Mengenai penentuan siapa yang terpilih dalam pemilu dari setiap partai politik, melalui voting akhirnya disepakati sistem proporsional dengan daftar terbuka tetap digunakan seperti pada Pemilu 2009. PDIP, PKS, dan PKB yang mengusung sistem daftar tertutup kalah dalam voting.

Jika kami urai sidang-sidang Pansus pemilu legislatif dan sidang paripurna untuk memutuskannya, tampak jelas betapa mubazirnya uang rakyat dihambur-hamburkan hanya untuk menentukan perubahan UU Pemilu yang sangat tidak signifikan itu.
Apakah tidak ada cara lain untuk melakukan perubahan undang-undang yang lebih murah dan tidak bertele-tele. Jangan karena "demokrasi itu mahal" dan "demokrasi mementingkan proses dan bukan hanya hasil", maka para anggota DPR dapat menghambur-hamburkan uang rakyat hanya untuk mempertahankan kepentingan atau nafsu berkuasa mereka.

'The Voiceless'
Kita patut bertanya, mengapa sidang pansus pemilu legislatif atau paripurna tidak membahas kuota kursi (bukan kuota calon) perempuan? Mengapa pasal yang mengatur jumlah uang sumbangan pribadi atau perusahaan bukannya dikurangi malah ditambah?
Secara akal sehat, mana mungkin seorang individu mengeluarkan uang dari koceknya sebesar Rp250 juta untuk membantu calon anggota legislatif jika dia tidak memiliki kepentingan politik? Hal yang sama juga berlaku bagi perusahaan yang dapat menyumbang sampai angka miliaran? Apakah kita benar-benar melaksanakan demokrasi sesuai empat pilar bangsa yang kita pertahankan?

Lalu, mengapa suara dari orang-orang yang tidak dapat bersuara (The voice of the voiceless) di daerah juga dikubur melalui sistem ambang batas parlemen 3,5%. Jika Rancangan UU Pemilu legislatif ini diberlakukan tanpa adanya review dari Mahkamah Konstitusi, kita tak tahu lagi, ke arah mana sesungguhnya demokrasi kita melangkah.
Jika di AS yang adalah negara kampiun demokrasi musyawarah mufakat masih sering digunakan baik di kongres atau dalam hubungan antara presiden dan kongres, mengapa di Indonesia itu menjadi sesuatu yang amat mahal dan sulit? Hanya politisi yang dapat menjawabnya. Suara rakyat bukan saja tidak ada harganya, melainkan juga nyaris tidak didengar!

Sumber :  Opini Lampost

Kamis, 18 Oktober 2012

Dr.Ari Damastuti : Politik Transaksional Masih Marak



BANDARLAMPUNG – Pemilihan kepala daerah (pilkada) di tiga kabupaten pada 27 September 2012 menyisakan sejumlah catatan bagi penyelenggaraan pemilihan gubernur (pilgub) mendatang. Yang menjadi sorotan adalah masih maraknya politik transaksional antara pemilih dan calon kepala daerah.
’’Masyarakat Lampung semakin dewasa, tapi masih ada pragmatisme,” kata pengamat pemilu Dr. Ari Darmastuti, M.A. saat memberikan materi dalam seminar Evaluasi dan Proyeksi Arah Pergerakan Dinamika Politik Daerah Pasca Pemilukada Kabupaten/Kota di Rumah Makan Ampera, Bandarlampung, kemarin.
Jika menginginkan pemilih semakin dewasa dalam berdemokrasi, tugas calon dan para pemangku kepentingan adalah mengajari masyarakat. Memang dalam konteks demokrasi, materialisme tidak mungkin hilang. Untuk menghilangkannya, masyarakat harus terdidik dengan baik dan tidak ada lagi ’’kelaparan”.
Selain itu, lanjut tenaga ahli Pemprov Lampung ini, calon yang maju dalam pilgub mendatang harus kompeten dan memiliki rekam jejak yang baik. ’’Jangan nggak punya basis apa-apa, tahu-tahu nyalon,” ujarnya.
Dari sisi penyelenggara, dosen FISIP Universitas Lampung ini menekankan  persoalan independensi KPU. ’’Kalau hari-hari ini orang bicara ribut tahapan kan aneh. Bicara independensi kpu lebih substansial,” ucapnya.
Ari melanjutkan, netralitas birokrasi juga sangat penting dalam penyelenggaraan pilgub. Ia mengakui bahwa sebagai pribadi, mungkin sulit bagi birokrat untuk bersikap netral. ’’Namun, ketika menjadi birokrat, harus netral! Tidak boleh memobilisasi fasilitas publik,” tegas Ari.
Mobilisasi dimaksud adalah gerakan yang sistematis, terstruktur, dan masif untuk mendukung salah satu calon. Biasanya incumbent. Pengawasan terhadap penyelenggaraan pilgub juga harus dilakukan di daerah pinggiran. Ari menganalogikan, dalam hukum fisika, cahaya lampu semakin pinggir akan semakin redup.
’’Kecurangan di daerah pinggiran mungkin nggak akan ada yang mengawasi. Di perkotaan sudah banyak mata yang lihat,” ungkapnya seraya mengatakan, kelemahan peraturan dalam penyelenggaraan pilkada juga semestinya terus diperbaiki. (dna/c2/fik)

Sumber : Radar Lampung 19 Oktober 2012

Pemilik Modal Masih Kendalikan Pemilu 2014



JAKARTA – Dunia perpolitikan Indonesia pada Pemilihan Umum 2014 masih didominasi pertarungan pemodal. Demikian penilaian pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens. Sebab, menurut Boni, para pemimpin partai yang maju masih merupakan kartel pemilik modal.

Menurutnya, hal ini ada kaitan dengan dominasi kaum kartel oligarkis dalam proses politik Indonesia setelah 1998. ’’Tidak bisa dipungkiri, demokrasi kita ada dalam kendali mereka. Makanya nilai-nilai liberal menguat dan perhatian terhadap kepentingan umum merosot. Demokrasi kita terjebak dalam paradoks ini," ujar Boni dalam siaran persnya kemarin.

Ia mengakui, kemajuan besar demokrasi di Indonesia adalah terbangunnya institusi- institusi politik yang mendorong demokratisasi ke arah modern.
Meski demikian, Boni juga menyatakan, yang menjadi kelemahan ketika pembangunan institusi tidak disusul penguatan nilai-nilai demokrasi pada level yang lebih konkret.

Bahkan, Boni menegaskan, secara prosedural, Indonesia sudah berhasil membangun demokrasi di tengah negara lain di Asia Tenggara. ’’Tapi, secara substansial, kita masih dalam masalah serius. Indeks korupsi dan kebebasan sipil bisa dijadikan tolok ukur untuk menguatkan skeptisisme ini,” katanya.
Boni yang tengah belajar di Universitas Humboldt, Berlin, Jerman, itu menambahkan, apa pun perkembangan yang terjadi di Indonesia, tetap saja Pemilu 2014 dikendalikan pemilik modal. (jpnn/c2/fik)



Provider Bantah Tudingan
 BANDARLAMPUNG – Pernyataan Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) Kota Bandarlampung terkait masalah tower bermasalah langsung memicu reaksi dari berbagai kalangan. Komisi A DPRD Bandarlampung misalnya. Mereka mengaku bingung dengan pernyataan BPMP karena sejak dua tahun lalu satuan kerja tersebut telah melakukan penertiban tower ini.
    ’’Lebih baik kita turun langsung bersama-sama ke lapangan sajalah. Dari dahulu dikatakan BPMP melakukan penertiban, lalu kenapa saat ini tiba-tiba menyatakan masih banyak yang tak berizin. Kita harus cross check dahulu kevalidan data yang disampaikan BPMP,” tegas Ketua Komisi A Wiyadi.
    Ia mengatakan, jika memang provider melakukan pelanggaran, maka harus diberikan sanksi tegas agar menjadi shock therapy sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial dari pengusaha yang taat peraturan.
    Wiyadi menegaskan, pernyataan BPMP malah menunjukkan kelemahan mereka sebagai satker dalam melakukan pengawasan. ’’Kami dahulu juga turun ke lapangan. Tetapi kan yang mengeksekusi ya satker, bukan kami,” ucapnya.
    Tanggapan juga datang dari Public Relation Telkomsel Sumbagsel Agus Winarto. Ia secara tegas menyatakan bahwa pihaknya selalu mematuhi aturan hukum yang berlaku. ’’Kami memiliki izin pendirian tower di seluruh Indonesia. Kami pun selalu kooperatif dengan pemerintah setempat dan berkoordinasi,” ujarnya.
Agus menyangsikan adanya pendirian BTS tanpa izin. Khusus di Bandarlampung, pihaknya memiliki sekitar 38 BTS yang seluruhnya memiliki izin dan didirikan sesuai aturan yang berlaku.
    RMC-Sales Supervisor PT Smartfren Telecom, Budhi Yawan Toni, juga memberi tanggapan. Ia meminta pemkot bertindak proaktif dengan melayangkan surat pemberitahuan jika pihaknya dinilai belum memiliki izin atau tidak membayar retribusi. ’’Silakan layangkan surat kepada kami sehingga dapat kami tindak lanjuti,” singkatnya.
    Sebelumnya, Pemkot Bandarlampung merasa geram dengan ulah pengusaha di kota ini, terutama yang berkaitan dengan masalah tower.  Sebab, berdasarkan data BPMP, masih terdapat 20 tower yang tidak berizin.
    ’’Semua kan harus mengikuti aturan yang ada. Pengusaha-pengusaha itu kan mencari uang di sini, jadi ya harus ikuti peraturan yang diberikan, tidak bisa dihindari,” tegas Wali Kota Bandarlampung Herman H.N.  
    Dia mengatakan, tim yang dibentuk saat ini tengah melakukan pendataan dibantu oleh camat dan lurah. ’’Jika membandel, ya akan kami putuskan salurannya. Kan sudah lama kami beri kesempatan, alasannya kan tengah berkoordinasi dengan kantor pusat, tetapi ini sudah satu tahun tak kunjung selesai. Berarti kan mereka membohongi kita,” tegasnya.
    Surat teguran, lanjutnya, sudah berkali-kali dilayangkan. Oleh sebab itu saat ini sudah tidak ada lagi toleransi, harus ditertibkan. ’’Uang dari mereka kan untuk PAD kota ini juga, untuk digunakan membangun kota ini. Pembangunan dapat dilakukan ya kan dari uang-uang itu,” ucap dia.
    Kepala BPMP Bandarlampung Nizom Ansori mengaku belum dapat mengestimasi kerugian yang ditimbulkan. Namun, pihaknya memperkirakan kerugian mencapai miliaran rupiah. (eka/c1/fik)

Sumber : Radar Lampung, 18 Oktober 2012

Debit Air PDAM Turun 50%


TELUKBETUNG SELATAN (Lampost): Debit air di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Way Rilau Bandar Lampung turun 50% setiap detiknya. PDAM Way Rilau memiliki pasokan air normal sebanyak 560 liter/detik. Namun, kini turun menjadi 280 liter/detik.

Kabag Hukum dan Humas PDAM Way Rilau Rozi Amri mengatakan walaupun saat ini sudah beberapa kali turun hujan, pasokan air di PDAM Way Rilau tetap saja berkurang. "Debit air turun hampir 50%, sekitar 280 liter/detik dari pasokan normal debit air sebanyak 560 liter/detik," kata Rozi ketika ditemui Lampung Post, Rabu (17-10).
Rozi menjelaskan sumber air yang didapatkan pihak PDAM Way Rilau dari air permukaan pada kondisi normal sebanyak 450 liter/detik. Lalu, sumber air dari sumur dalam sebanyak 20 liter/detik dan sisanya dari mata air sebanyak 90 liter/detik, sehingga total pasokan air dalam kondisi normal sebanyak 560 liter/detik.
"Kalau beberapa bulan kemarin turun sekitar 40%, tapi sekarang sudah 50%. Walaupun sudah beberapa kali hujan, tambahan dari air hujan itu tidak signifikan untuk pasokan bagi semua sumber air," kata dia.

Suplai ke Warga
Rozi menambahkan bagi warga Bandar Lampung yang masih kekurangan air bersih di daerahnya masing-masing dapat mengusulkannya ke PDAM Way Rilau melalui ketua RT setempat. Selanjutnya, petugas PDAM akan mendatangi lokasi warga yang membutuhkan air tersebut.
"Kami akan kirim tangki air sebanyak 4 kubik. Jumlah air ini untuk 7—8 pelanggan kami dan bisa juga untuk warga yang benar-benar membutuhkan air," ujarnya.

Hingga saat ini, lanjut Rozi, pihaknya sudah mengirimkan sejumlah tangki yang masing-masing berisi 4 kubik air ke warga di Kelurahan Srengsem, Garuntang, Kaliawi, Segalamider, Way Kandis, Gedongmeneng, dan lainnya.
Pihaknya juga mengimbau agar warga berhemat atau melakukan efisiensi dalam penggunaan air, terutama air bersih. Sebelumnya, Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. menginstruksikan PDAM Way Rilau untuk memberikan air bersih secara cuma-cuma kepada warga yang benar-benar membutuhkan air bersih.
Wali Kota meminta PDAM Way Rilau memasok air bersih sekitar 20 tangki per hari kepada warga. Petugas PDAM Way Rilau harus keliling untuk mencari sejumlah daerah yang kekurangan air, terutama air bersih. Kemudian langsung menyuplai air bersih ke sejumlah warga yang benar-benar membutuhkan.

Selain itu, PDAM Way Rilau diharapkan bisa bekerja sama dengan pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bandar Lampung dalam hal pemberian bantuan air bersih ini. (MG5/K-1)

133 Anggota Dewan Bolos Dalam Rapat Paripurna DPR


JAKARTA (LampostOnline): Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI hari ini menggelar rapat paripurna dengan agenda pengesahan beberapa RUU. Dalam rapat penting ini ternyata masih saja ada yang tidak hadir yaitu sebanyak 133 anggota dewan.

Berdasarkan data absensi pada pukul 11.30 WIB, rapat paripurna ini dihadiri oleh 427 anggota dewan dari total 560 jumlah anggota DPR. Namun jumlah 427 ini sudah melebihi kuorum yang ditetapkan yaitu 281 sehingga pengesahan dapat tetap berlangsung

Rapat yang dipimpin wakil ketua DPR, Pramono Anung ini mengesahkan beberapa RUU yaitu RUU tentang Pangan dan Perkoperasian, rancangan tata kerja Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan pembentukan pansus tentang Perjanjian Internasional. Pengesahan dilakukan dengan mulus tanpa adanya interupsi dari satu pun anggota dewan.

Pantauan detikcom, Kamis (18-10), rapat dimulai pada pukul 10.00 WIB dan berakhir sekitar pukul 12.15 WIB. Absensi rapat masih menggunakan tanda tangan manual. Di meja sekeretariat depan ruang sidang terlihat 2 buah Perangkat fingerprint. Perangkat ini belum digunakan sebagai alat absensi melainkan hanya untuk melengkapi data sidik jari anggota dewan yang belum terdata pada paripurna sebelumnya.

Berikut ini adalah rincian anggota dewan yang hadir dalam rapat menurut fraksinya masing-masing.
  • F- Demokrat : 110 anggota hadir dari total 148 kursi
  • F-Golkar : 86 anggota hadir dari total 106 kursi
  • F-PDIP : 76 anggota hadir dari total 94 kursi
  • F-PKS : 45 anggota hadir dari total 57 kursi
  • F-PAN: 30 anggota hadir dari total 46 kursi
  • F-PPP : 25 anggota hadir dari total 38 kursi
  • F-PKB : 19 anggota hadir dari total 28 kursi
  • F-Gerindra : 21 anggota hadir dari total 26 kursi
  • F-Hanura : 15 anggota hadir dari total 17 kursi

Total anggota dewan yang hadir sudah melebihi kuorum yang ditetapkan untuk pengasahan di dalam rapat paripurna. (DTC/L-4)

Pedagang Hewan Kurban di Bandar Lampung Kesulitan Cari Pakan


BANDAR LAMPUNG (LampostOnline): Sejumlah pedagang hewan kurban di Kota Bandarlampung mengaku kesulitan mendapatkan rumput segar untuk hewan dagangan mereka, seiring belum berakhir musim kemarau.
"Rumput untuk pakan masih kerepotan untuk mendapatkannya, karena belum musim hujan," ujar Suprapto, pedagang hewan kurban di Jalan Imbakesuma, Kelurahan Sumbersejahtera, Kecamatan Kemiling, di Bandarlampung, Kamis (18-10).
Dia mengaku, harus mencari rumput segar ke kabupaten lain di Provinsi Lampung, seperti Pesawaran yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Bandarlampung. Menurut Suprapto, untuk memberikan pakan fermentasi pada hewan ternak dagangannya sebenarnya tidak masalah, namun tetap kesulitan mencari bahan bakunya. Dia menyatakan, saat ini sapi dan kambing sama-sama naik harganya, seiring banyak masyarakat membutuhkan hewan kurban untuk keperluan ibadah di bulan Haji ini.
"Harga sapi paling rendah Rp7,5 juta per ekor, sedangkan paling tinggi Rp14 juta, kenaikannya sekitar 25 persen," kata dia pula. Ia menambahkan, harga kambing mengalami kenaikan sekitar 30 persen, terendah Rp1 juta, dan tertinggi Rp3 juta per ekor. "Saya setiap tahun berjualan hewan kurban," ujar dia yang mengaku tahun lalu mampu menjual 150 ekor kambing dan 30 ekor sapi.
Saat ini, ia menambah pasokan kambing untuk dijualnya. "Tahun lalu kambing yang tidak laku hanya 10 ekor, tapi sekarang jumlah kambing saya tambah menjadi 200 ekor. Namun untuk sapi jumlahnya tetap," kata dia seraya menyatakan optimistis hewan kurban dagangannya dapat segera laku terjual.
Berdasarkan data Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Lampung, jamaah haji daerah ini pada musim haji tahun 2012/1433 Hijriah sebanyak 6.252 orang, berikut 70 orang petugas haji. Jumlah jamaah tersebut tidak memenuhi kuota haji yang diberikan pemerintah untuk Lampung sebanyak 6.282 orang. (ANT/L-4)

Sumber : Lampost 18 Oktober 2012

Senin, 15 Oktober 2012

HARI JADI BLOG


Hari ini Senin tanggal lima belas bulan Oktober tahun dua ribu dua belas adalah merupakan harijadi Blog milik pribadi selaku Ketua Umum DPC Partai  Persatuan Pembangunan (PPP) Kota Bandar Lampung. Dengan diterbitkannya blog yang sederhana ini maka kami berharap agar dapat dijadikan sarana berkomunikasi baik antar sesama kader maupun dengan masyarakat luas. Blog ini saya beri nama Nur Syamsi ST, Blog  dengan sub judul Berkhidmat Kepada Ummat,.  Blog ini berfungsi juga sebagai kumpulan kliping berbagai tulisan dan berita yang saya anggap sebagai infornasi yang bermanfaat baik tulisan dan catatan pribadi dan tulisan lainnya yang saya dapatkan dari berbagai sumber.

Blog ini juga link dengan beberapa blog dan webset dari lembaga di mana saya berkecimpung, serta beberapa blog milik orang orang yang saya kenal.

Saya yakin blog ini akan bermanfaat, sehingga saya nyatakan terbuka bagi siapa saja untuk membacanya.